JAKARTA – Post Sumatera.id
Bencana di Sumatera bukan lagi tragedi, ini adalah alarm keras bahwa negara sedang runtuh dalam urusan perlindungan warganya. Padahal sudah tampak jelas hampir seribu lebih mayat berserakan, rumah-rumah porak-poranda, hutan dan tanah hancur luluh lantah, jutaan mengungsi, rakyat menjerit dalam derita, dan puluhan kabupaten berubah menjadi perkampungan lumpur. Namun pemerintah pusat masih belum menetapkan status bencana nasional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Aceng Syamsul Hadie menyoroti kebijakan pemerintah yang masih belum berani menetapkan sebagai bencana nasional, padahal bencana Sumatera sudah menjadi bukti telanjang yang mengerikan, pemerintah daerahpun sudah tak mampu lagi berbuat sesuai keinginan pemerintah pusat.
“Apalagi yang ditunggu? Kenapa pemerintah tidak mau jujur tentang kondisi yang sebenarnya kepada rakyat? Segera tetapkan sebagai bencana nasional “, desak Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM selaku Ketua Dewan Penasehat DPC PPWI Kabupaten Majalengka.
Aceng yang juga selaku Pemimpin Redaksi Media Jejak Investigasi mengingatkan bahwa keterlambatan penetapan ini bukan sekadar kelalaian, tapi ini adalah kegagalan struktural yang nyata, terang-benderang, dan tidak bisa ditutup-tutupi. Apakah pemerintah takut? karena dengan status bencana nasional akan membuka semua dosa lama, dimana akan terungkap skandal kejahatan ekologis terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh para pejabat elit, korporasi dan oligarki yang berdampak ribuan korban nyawa.
Menetapkan sebagai Bencana Nasional sebenarnya bukan pilihan—itu kewajiban negara sesuai gambaran situasi diatas, penetapan status bencana nasional itu sangat jelas dampak positifnya, dimana negara bisa turun tangan penuh, tanpa drama birokrasi daerah yang sering gagap dan saling lempar. TNI–Polri bergerak maksimal, logistik besar masuk, dan bantuan internasional mengalir deras tanpa hambatan politik. Rakyat selamat, pemulihan cepat, dan koordinasi menjadi satu komando. Ini yang seharusnya terjadi dalam negara yang bernyawa dan beradab.
Namun pemerintah masih menimbang-nimbang, karena menetapkan bencana nasional berarti membuka borok sendiri dan itu merupakan pengakuan yang jujur kepada rakyat bahwa mitigasi gagal total, deforestasi dibiarkan merajalela (penggundulan hutan membabi buta), izin tambang dan kebun sawit diberikan secara menggila tanpa batas kontrol, dan kementerian terkait lebih sibuk melayani investor ketimbang menjaga keselamatan rakyat.
Aceng menjelaskan, begitu status nasional diketuk, maka audit besar-besaran otomatis berjalan, jejak kelalaian akan terbuka, dari meja menteri hingga bupati, inilah yang mereka takutkan, karena yang dipikirkan bukan nyawa, tetapi reputasi, mereka lebih takut pada dampak politik dan hukum daripada dampak banjir yang menenggelamkan kampung dan menghancurkan masa depan jutaan warga Sumatera.
Penetapan bencana nasional sangat bermanfaat untuk mempercepat penyelamatan korban dan pemulihan Sumatera, namun dibayangi dampak politik dan ekonomi yang membuat pemerintah ragu. Tantangannya terletak pada keberanian pemerintah untuk mengakui skala katastrofik bencana, serta menghadapi fakta keras bahwa kerusakan lingkungan, tambang dan sawit serta deforestasi memiliki peran besar.
“Seharusnya, dalam situasi segawat ini, pemerintah tidak berdiri di wilayah abu-abu, tidak ada yang abu-abu ketika rakyat mati. Bencana Sumatera layak, patut, dan wajib ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Jika pemerintah masih ragu, itu bukan soal teknis—itu soal keberanian moral. Dan hari ini, keberanian itu seperti barang langka di republik ini”, pungkasnya.(rais)









